Alhamdulilah, di masa pandemi ini, saya berkesempatan menjadi peserta program Pendidikan Guru Penggerak yang diluncurkan kemdikbud dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia dengan menciptakan pembelajaran yang berpusat pada murid dan menggerakkan ekosistem pendidikan yang lebih baik.
Sebelum
mengikuti PGP dan mempelajari modul 1.1 khususnya pada materi “Refleksi
Filosofi Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara” dalam pembelajaran saya
banyak dipengaruhi pendapat Dale dan Piaget. Saya merasa sepaham dengan Piaget
yang mengatakan bahwa dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Juga pendapat
bahwa pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial sehingga jika anak tidak
berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi
sebagai bagian dari kelompok sosial. Selama ini, saya lebih banyak melihat dan
menilai pembelajaran dari sisi kognitif, namun meskipun sepakat dalam hal
tersebut, saya kurang sependapat pada pendapat Piaget bahwa perkembangan
kognitif merupakan suatu proses genetik semata, yaitu suatu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Sebagai individu
yang berkembang di lingkungan yang cukup religius, saya merasa pendapat
tersebut agak bertentangan dengan kepercayaan saya akan campur tangan Tuhan
dalam kehidupan manusia. Saya percaya bahwa Tuhan, menciptakan alam semesta
dengan keteraturan (hukum alam), namun demikian jika Dia berkehendak, sangat
mudah bagi Tuhan untuk membuat sesuat di luar hukum alam tersebut.
Dari Dale saya
menjadi percaya pentingnya media dan aktivitas yang tinggi dalam pembelajaran. Hal
tersebut juga yang melatarbelakangi saya mencoba mengembangkan beberapa media
pembelajaran dan mempraktekkan berbagai strategi pembelajaran yang berbeda. Namun
demikian dalam praktek nyata di kelas, saya menemukan tidak sepenuhnya teori-teori
tersebut bisa memberi dampak yang diharapkan. Dengan pemanfaatan media dan strategi
pembelajaran yang sama, sering kali menimbulkan hasil belajar yang sangat
bervariasi pada setiap siswa. Pada siswa yang sama pun terkadang hasil belajar
berbeda, ketika ada faktor psikologis yang mempengaruhi.
Setelah mempelajari
Filosofi Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, saya mendapatkan banyak
tambahan wawasan. Salah satu yang cukup membekas di benak saya adalah mengenai
pentingnya peran keluarga dalam proses pembelajaran, juga pembelajaran yang
berazaskan kekeluargaan (asah, asih, asuh). Saya sangat terkesan mendengar kisah
Ki Hajar yang dibagikan Ki Priyo Dwiarso pada salah satu sesi Video Confrence mengenai
bagaimana sikap beliau pada para siswa. Ki Hajar mencetuskan sistem among yang berazaskan
kekeluargaan agar anak tidak merasa tercerabut dari perasaan kasih sayang
keluarga yang ikhlas suci dari orang tua. Peran orang tua tersebut diharapkan
dapat digantikan guru di sekolah.
Dalam sistem
among, KHD lebih mengedepankan pedagogi. Peran guru layaknya seorang pengasuh
(fasilitator) yang membimbing dan mengasuh anak didiknya dengan ikhlas, sesuai
minat dan bakat anak yang diasuh. Untuk itu, guru harus dapat mencermati minat,
bakat dan kemampuan masing-masing siswa agar jiwa sang anak tetap merdeka lahir
batin dalam belajar. Dengan kata lain, sistem among itu bersendikan kodrat alam
dan kemerdekaan.
Menurut KHD dalam
mendidik seorang guru harus dapat membaca kodrat alam siswa. Meskipun kodrat
alam tersebut terus maju, seiring olah budaya manusia, ada beberapa kodrat alam
yang dapat dimanfaatkan dalam KBM. Salah satu kodrat alam anak menurut beliau
adalah tenteram dan nyaman di alam kekeluargaan, maka sistem among membawa suasana
kehangatan keluarga dalam KBM. Selain itu, kodrat alam yang juga dimiliki anak
adalah bermain. Kodrat alam tersebut perlu difasilitasi dengan muatan dolanan
anak dan simulasi. Dengan membaca dan memfasilitasi kodrat alam anak, guru
dapat mengembangkan minat dan bakat anak, sehingga anak lebih aktif encari
tahu, dibadingkan menunggu diberi tahu.
Dari uraian di
atas, kita dapat melihat bahwa Ki Hajar Dewantara Sang Bapak Pendidikan
Indonesia melihat manusia lebih pada sisi psikologisnya. Menurut beliau manusia
memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya
menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan
pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari
masyarakatnya.
Menurut KHD,
guru hendaknya memiliki kepribadian dan kerohanian yang bermutu, baru kemudian
menyediakan diri untuk menjadi pahlawan. Guru juga diharapkan dapat menyiapkan
para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Bisa dikatakan bahwa
menurut KHD, yang diutamakan dari seorang pendidik adalah fungsinya sebagai
model atau figur keteladanan bagi siswa, baru kemudian sebagai fasilitator atau
pengajar. Nama Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki kaitan erat dengan pendapat
di atas. Nama tersebut mengandung makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, dan keutamaan. Seorang pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang
yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Semboyan “Ing
Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” sesungguhnya
mengandung makna yang mendalam. “Tut wuri handayani” yang maknanya “Dari
belakang memberikan dorongan dan arahan”, sedangkan “Ing madya mangun karsa”
yang artinya “Di tengah menciptakan prakarsa dan ide”, dan “Ing ngarsa sung
tulada” yang artinya “Di depan memberi teladan atau contoh tindakan baik”
menggambarkan peran ganda guru dalam mendidik. Guru harus bisa membaca keadaan,
kapan ia harus berperan sebagai seorang panutan yang memiliki peran dominan
dalam memberikan teladan, kapan ia harus membersamai siswa dan berada
ditengah-tengah mereka untuk menciptakan prakarsa dan ide, dan kapan harus
berada di belakan para siswa dan memberikan dorongan dan arahan.
Ki Hajar Dewantara juga pernah melontarkan
konsep belajar 3 dinding. Sebuah konsep pendidikan mencerminkan tidak adanya
batas atau jarak antara pembelajaran di kelas dengan realita di masyarakat. Belajar bukan sekedar teori dan praktek
disekolah, tetapi juga belajar menghadapi realitas dunia. Dengan demikian
diharapkan para lulusan sekolah dapat mampu hidup dan bisa berbuat banyak di
masyarakat setelah lulus dari sekolah.
Pandangan lain
Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan adalah bahwa pendidikan adalah upaya
untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa menjadi manusia yang mandiri agar
tidak tergantung kepada orang lain baik lahir maupun batin. Namun demikian
kemerdekaan disini tidak berarti kebebasan tanpa batas, melainkan bebas yang mejaga
tertib dan damainya hidup bermasyarakat. Sistem among melarang hukuman dan pemaksaan
dalam KBM karena akan menghambat pertumbuhan jiwa merdeka sang anak. Namun demikian,
pemberian sanksi dibolehkan, selama sifatnya seimbang, netral dan adil.
Pengetahuan mengenai
Filosofi Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, merupakan informasi berharga
yang bisa saya bawa kembali ke kelas saya. Sistem among berazaskan kekeluargaan
dengan “asah, asih, dan asuh” mengingatkan saya kembali akan pentingnya
keikhlasan dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Banyaknya beban kurikulum,
tuntutan pengembangan karir, administrasi, dan banyak masalah lain sepertinya
cukup menghabiskan energi keikhlasan dalam diri saya selama ini. Mugkin inilah
saatnya untuk kembali “merdeka”. Kembali meluruskan niat, kembali membenahi
diri agar menjadi pribadi yang bermutu kepribadian dan kerohaniannya, sehingga
dapat menjadi sosok teladan bagi siswa.
Selain langkah di atas, dari pandangan KHD mengenai bagaimana memfasilitasi kodrat alam anak dalam KBM, saya ingin mencoba menerapkan pembelajaran bermuatan dolanan anak. Dengan langkah tersebut siswa lebih menikmati proses belajarnya, belajar berbagai karakter posittif, juga dapat mencapai hasil belajar yang diamanahkan kurikulum. dengan kata lain anak juga akan "Merdeka Belajar"
“Merdeka!!!!”
0 Comments:
Post a Comment