Cerita Anak "Terjebak di Sarang Penjahat" |
Baru sekitar satu setengah bulan belakangan Irfan dan
keluarganya pindah ke sebuah kompleks perumahan daerah di pinggiran kota.
Sebelumnya ayah Irfan yang bekerja sebagai dokter, ditugaskan di sebuah
puskesmas sehingga Irfan dan keluarganya tinggal di daerah pedesaan. Namun
beberapa waktu lalu Ayah Irfan dipindahtugaskan ke sebuah rumah sakit di
pinggiran kota, sehingga terpaksa mereka sekeluarga pindah.
Di tempat tinggal yang baru, Irfan dengan mudah
menyesuaikan diri. Baru beberapa hari saja Irfan sudah punya banyak teman.
Irfan memang anak yang supel. Ia ramah dan suka berteman dengan siapa saja.
Irfan juga tidak bersikap sombong, meskipun orang tuanya lebih kaya
dibandingkan teman-temannya. Tidak hanya dengan teman-teman di komplek
perumahan. Dengan teman-teman sekolahnya yang tinggal di kampung sebelah
perumahanpun, Irfan selalu bersikap baik.
Hari ini teman-teman sekolah Irfan mengajaknya bermain
bola di sebuah lapangan kampung di sebelah komleks perumahan. Irfan menerima
ajakan teman-temannya dengan senang hati. Apalagi sudah lama Irfan tidak
bermain bola. Asalkan meminta ijin, orang tuanya juga tidak akan keberatan.
Sekitar pukul lima sore, Irfan dan teman-temannya selesai
bermain bola. Irfan, Doni, Rizal dan Eman duduk-duduk di tepi lapangan sambil
mengobrol. Mereka minum dan istirahat sebentar sebelum pulang ke rumah
masing-masing.
“Eh Fan, tadi Kamu kesininya lewat depan ya?” tanya Eman
pada Irfan yang sedang asyik mengipasi tubuhnya dengan topi.
“Iya lah.... lewat mana lagi? Memang ada jalan lain Man?”
“Sebenarnya ada Fan. Kalau kamu lewat jalan pintas, Kamu
tidak harus memutar lewat depan perumahan dulu. Jadi Kamu bisa lebih cepat
sampai rumah. Kamu mau nggak, aku tunjukin jalan itu?” jawab Eman.
“Jangan.... Jangan! Mending jangan lewat jalan itu deh Fan!”
sahut Doni.
“Memang kenapa Don?” tanya Irfan.
“Serem.... Mending lewat depan aja. Jauh dikit, tapi
aman!” jawab Doni.
“Ah, Kamunya aja yang penakut Don!” sahut Rizal. “Aman
kok! Nanti Kita antar deh,”
“Iya Fan nanti Kami antar. Kalau kamu takut, kamu pulang
aja duluan Don!” kata Eman.
“Ng...nggak kok... Siapa yang takut? Aku kan Cuma
ngingetin. Kalau lewat jalan itu kan Kita harus lewat sarang teroris itu,”
Jawab Doni, sedikit gelagapan. Rupanya Doni tak ingin dianggap penakut,
meskipun sebenarnya Doni memang merasa takut.
“Sarang teroris?” Irfan jadi penasaran.
“Iya Fan. Belakang area perumahan tempat Kamu tinggal itu
ada rumah yang misterius, dan Kita harus lewat depan rumah itu, kalau mau lewat
jalan pintas,” jelas Rizal.
“Memangnya apanya sih yang misterius?” Irfan semakin
penasaran, setelah mendengar penjelasan dari Rizal.
“Setiap Kami lewat, rumah itu selalu tertutup rapat Fan,
Pagarnya juga tinggi. Beberapa kali Kami pernah mendengar suara mencurigakan,
bahkan beberapa kali terdengar suara tembakan, saat lewat di sekitar rumah itu,”
Ujar Eman.
“Betul kata Rizal Fan. Kami curiga rumah itu jadi sarang
teroris atau penjahat. Apalagi orang yang tinggal di rumah itu juga tidak
pernah bergaul,” Timpal Rizal.
“Kenapa tidak dilaporkan polisi saja? tanya Irfan lagi.
Kali ini Eman yang menjawab pertanyaan Irfan: “Inginnya
sih begitu, tapi Kami belum punya bukti
Fan. Beberapa kali Kami coba intip rumah itu, tapi tak berhasil,”
“Aku jadi penasaran nih. Ayo Kita ke sana!” ajak Irfan.
“Tu...tu... tu ... tunggu teman-teman! Sekarang kan sudah
hampir magrib, mungkin lebih baik kalau besok saja Kita kesana,” Cegah Doni.
“Ah... Kami ini Don, penakut amat sih!” kata Eman. Eman
jadi sedikit kesal karena sikap Doni yang terlalu pennakut.
“Menurutku ada benarnya juga kata-kata Doni Man. Sekarang
memang sudah terlalu sore. Kalaupun Kita coba menyelidiki rumah itu, akan
sulit, karena sebentar lagi gelap,” usul Rizal.
“Oke, kalau begitu. Sekarang Kita lewat saja, sambil
mengantar Irfan pulang. Supaya Irfan tahu tempatnya saja. Besok kan kebetulan
hari minggu, pagi-pagi Kita ke sana lagi untuk melanjutkan penyelidikan Kita.
Bagaimana? Kalian setuju?”kata Eman.
“Oke aku setuju,” kata Irfan.
“Aku juga,” kata Rizal.
Melihat Doni yang diam saja, Eman menepuk pundak Doni dari
belakang. “Kamu main boneka saja, sama adikmu si Lia!” ledek Eman.
“Sudah... sudah! Jangan kau ledek terus dia Man! Tak baik
itu!” ujar Rizal menengahi kedua sahabatnya.
“Biarin aja Zal! Emang si Eman suka sentimen sama aku,”
sahut Doni.
“Habis Kamu juga sih... Nggak kompak banget,” kata Eman.
“Aku kan tidak bilang kalu aku nggak mau ikut. Kamu saja
yang menyimpulkan sendiri,” kilah Doni membela diri.
“Sudah............ Sudah..... Jangan ribut lagi! Lebih
baik Kita segera berangkat sekarang, keburu magrib,” kata Irfan.
Mereka berempat bergegas mengantarkan Irfan pulang melalui
jalan pintas menuju perumahan tempat Irfan tinggal, sekaligus menunjukkan rumah
misterius yang mereka ceritakan.
*****
Keesokan paginya,
sekitar pukul tujuh pagi, Irfan, Doni, Eman dan Rizal sudah berkumpul di
sekitar rumah misterius itu. Mereka berkumpul di dekat tembok yang menjadi
pagar rumah tersebut. Eman dan Rizal datang lebih dahulu. Beberapa saat
kemudian baru Ifran datang. Sedangkan Doni datang paling belakangan.
“Datang juga kau Don. Kukira kau tak berani datang,” kata
Eman saat Doni datang. Muka Doni seketika memerah mendengar kata-kata
Eman.
Melihat Eman dan Doni hampir bertengkar, Rizal segera
angkat bicara. “Sudah-sudah. Daripada
ribut, mendingan Kita menyusun rencana. Apa yang akan Kita lakukan untuk
menyelidiki rumah itu,”
“Aku punya rencana teman-teman,” ucap Irfan.
“Apa rencanamu Fan?” tanya Doni.
“Kalian lihat pohon besar di samping pagar rumah itu?”
tanya Irfan pada teman-temannya dengan suara setengah berbisik. Eman, Doni, dan
Rizal kompak menengok ke arah yang ditunjukkan Irfan. Irfan menunjukkan sebuah
pohon Jambu biji yang cukup besar. Pohon itu letaknya sekitar satu meter dari
tembok pagar rumah misterius yang mereka curigai sebagai sarang penjahat. Pagar
setinggi dua setengah meter yang menghalangi siapapun mengetahui apapun yang
ada dibaliknya.
“Menurutku, kalau kita memanjat pohon itu, kita bisa
melihat ke dalam rumah ini,” lanjut Irfan. “Apa Kalian pernah mencobanya?”
“Kami sudah coba Fan. Tapi jarak rumah dari pagar ini
lumayan jauh juga. Jadi Kami tidak bisa melihat dengan jelas ,” jawab Eman.
“Apa kalian pernah mencoba menggunakan ini?” tanya Irfan
sambil mengeluarkan sebuah teropong dari dalam tas rangselnya.
“Keren Kau Fan. Punya barang beginian,” kata Rizal sambil
merebut teropong dari tangan Irfan. “Kalau pakai teropong, mungkin Kita bisa
melihat apa yang ada di dalam rumah ini,” ucap Rizal.
“Betul!” sahut Eman dan Doni hampir bersamaan.
“Sssstttttt...... Jangan berisik. Nanti mereka dengar,”Kata
Rizal sambil menunjuk ke arah rumah misterius yang akan mereka selidiki.
“Maaf.... maaf.... Aku jadi terlalu bersemangat” kata
Eman. Kali ini dengan suara pelan.
“Sekarang Kita tentukan dulu, siapa yang akan memanjat
pohon,” ucap Rizal.
“Kalau Kita hompimpah saja bagaimana teman-teman?” usul
Doni.
“Kali ini aku setuju dengan usulmu Don. Tumben Kau cerdas,”
sahut Eman.
“Kau ini! Ingin mengajak ribut lagi atau bagaimana?” kata
Doni dengan nada sedikit geram.
“Sabar... sabar... Don! Sekarang bukan waktunya ribut!
Mungkin maksud Eman Cuma bercanda” ujar Irfan.
“Iya Don. Masa begitu saja Kau marah. Maaf deh kalau
begitu,” kata Eman.
“Ya sudah, Kita hompimpah saja sekarang. Tapi karena Kita
semua ingin tahu apa saja yang ada di dalam sana. Kita hompimpah untuk menentukan
siapa yang memajat duluan. Jadi, nanti tidak hanya satu orang yang memanjat,
tapi Kita bergantian” usul Rizal.
Mereka berempat akhirnya melakukan hompimpah untuk
menentukan giliran memanjat pohon, dan hasilnya Irfan yang harus memanjat pohon
lebih dahulu. Irfan mengalungkan tali teropong di lehernya, kemudian dengan
hati-hati ia memanjat pohon jambu.
Setelah berada di ketinggian yang dirasa cukup, Irfan
beralih ke cabang pohon yang condong ke arah rumah misterius. Cabang pohon
jambu tersebut menjulur hingga ke atas tembok pagar. Kebetulan sekali ada
cabang lain yang bisa dijadikan tempat bersandar, sehingga Irfan dapat dengan
leluasa mengamati rumah tersebut dari jarak yang lebih dekat.
Setelah mendapatkan posisi yang cukup nyaman, Irfan
mencoba melihat ke dalam pekarangan rumah dengan teropongnya, namun ternyata
ranting dan daun pohon jambu yang cukup rimbun dihadapannya menghalangi
pandangannya. Irfan berusaha menyibak dedaunan tersebut, namun ternyata di
balik dedaunan yang rimbun tersebut terdapat sarang semut. Semut-semut yang
merasa terusik menyerbu Irfan. Irfan jadi kalang kabut. Saat mencoba
menyibas-kibaskan semut-semut yang menggigitinya, Irfan hilang keseimbangan.
Akibatnya ..... Buk...... Irfan jatuh dari pohon.
Irfan meringis kesakitan. Irfan jatuh dengan posisi kaki
lebih dahulu. Untunglah tempatnya terjatuh ditutupi hamparan rumput yang cukup
tebal. Namun demikian, pergelangan kaki dan lututnyanya terasa agak sakit.
“Hei siapa itu?” sebuah suara yang lantang membuyarkan
pikiran Irfan. Ia baru menyadari, ternyata ia jatuh di dalam pekarangan rumah,
bukan di luarnya. Rasa panik yang tak terkira, membuat Irfan lupa rasa sakitnya
untuk sementara. Yang ada di fikiran Irfan saat itu adalah, bagaimana caranya
melarikan diri dari dalam rumah itu, secepat mungkin. Irfan mencoba untuk
berdiri, namun ternyata kaki Irfan terluka cukup parah di bagian lutut. Irfan
baru menyadari ternyata banyak juga darah yang keluar, sehingga ia merasa
sangat kesakitan saat mulai berdiri.
Sebelum Irfan berhasil untuk melarikan diri, seorang pria
muncul di hadapan Irfan. Bukan pria tinggi besar dengan tampang garang seperti
yang dibayangkan Irfan sebelumnya, tetapi seorang kakek yang hampir seluruh
rambutnya telah memutih. Meskipun sudah tidak muda lagi. Kakek tersebut
terlihat cukup sehat dan gagah. Bajunya juga bersih dan rapi. Jauh dari tampang
seorang penjahat.
“Maa... maaa... maaf Kek, tadi saya terjatuh saat memanjat
pohon” kata Irfan terbata-bata.
“Sepertinya Kamu terluka. Ayo ikut kakek. kakek obati dulu
kakimu,” kata Sang Kakek tanpa memperdulikan penjelasan Irfan. Suara Kakek yang
singkat dan tegas membuat Irfan tidak punya pilihan lain selain menurut. Kakek
tersebut kemudian memapah Irfan ke dalam rumahnya. Irfan di bawa ke dalam ruangan yang cukup
luas. Irfan di suruh duduk di sebuah kursi, kemudian Sang Kakek masuk ke uangan
lain.
“Irfan mengamati kondisi sekelilingnya. Terdengar suara
beberapa orang yang sedang bercakap-cakap di ruangan lain, tapi tak terlihat
orang yang lalu lalang. “Mungkinkah rumah ini benar-benar sarang penjahat?”
fikir Irfan
Sambil sesekali meringis menahan sakit, Irfan terus
mengamati keadaan ruangan tempat ia berada. Beberapa foto tua dipajang di
dinding ruangan. Meskipun terlihat agak berbeda usia, Irfan menebak sebagian
adalah foto Kakek penghuni rumah dengan seragam militernya. Dari foto-foto
tersebut, Irfan menyimpulkan, kalau Kakek yang baru saja menolongnya adalah
seorang purnawirawan TNI. Irfan mulai berfikir, sepertinya ada yang janggal,
masa iya, seorang purnawirawan TNI menjadi seorang teroris atau penjahat.
Beberapa saat kemudian, suara dari ruangan sebelah tadi
tiba-tiba senyap. hampir bersamaan dengan hilangnya suara tadi, Sang Kakek
kembali dengan membawa peralatan P3K dan segelas air putih. “Ini kamu minum
dulu!” kata kakek sambil menyodorkan air putih kepada Irfan.
“I...i... iya Kek,” kata Irfan sambil menerima air putih
dari tangan Si Kakek. Ia kemudian meminum air putih tersebut hingga habis.
kebetulan memang Irfan merasa sangat haus dari tadi.
Setelah Irfan menghabiskan minumnya, Si Kakek kembali
berbicara. “Siapa namamu Nak?”.
“Nama saya Irfan Kek,” kata Irfan sambil menunduk.
“Kebetulan sekali, namamu sama dengan nama cucu Kakek,”
kata Si Kakek. Saat itu tiba-tiba wajah kakek tadi berubah menjadi lebih ramah.
“Oh iya .... Nama Kakek Umar. Kakek obati dulu kakimu ya. Akan terasa sakit
awalnya. Kamu tahan sedikit! Karena kalau tidak segera dibersihkan dan diobati
kakimu yang terluka itu bisa infeksi,” kata Sang Kakek. Lagi-lagi Irfan hanya
bisa menganggukkan kepalanya. Kakek Umar kemudian membersihkan luka Irfan, dan
menutup luka tersebut dengan kain kasa steril.
Sambil diobati, Irfan terus memperhatikan gerak-gerik
Kakek Umar. Irfan berfikir, sangat tidak masuk akal, seseorang sebaik kakek
Umar adalah seorang penjahat. Tapi Irfan juga penasaran dengan suara keributan
di ruang sebelah. Karena penasaran, beberapa kali Irfan mencuri pandang ke
ruang sebelah, dari mana suara keributan tadi berasal. Sayangnya pintu ke arah
ruangan itu tertutup rapat.
“Filmnya sudah Kakek matikan,” suara Kakek Umar membuat
Irfan sedikit kaget.
“A... apa kek? Film? Bukan suara orang ya Kek?”
“Iya film. Kakek kan tinggal sendiri di sini. Anak dan
cucu Kakek tinggal di luar Jawa. Suara
yang Kamu dengar tadi itu, suara film. Tadi Kakek sedang menonton film
perjuangan. Film Janur Kuning. Kamu pernah nonton?”
Irfan cuma menggeleng. Berbagai perasaan berkecamuk dalam
diri Irfan saat itu. Irfan lega bahwa ia tidak sedang terjebak di sarang
penjahat seperti yang ia takutkan. Irfan juga merasa bersalah telah curiga yang
bukan-bukan pada Kakek Umar.
“Ah... anak jaman sekarang, taunya hanya nonton film
kartun saja. Sekali-kali tontonlah film-film perjuangan, supaya kalian tahu
betapa beratnya perjuangan para pahlawan memerdekakan negeri Kita!” kata Kakek
Umar kemudian.
“Iya Kek. Pasti besok saya tonton ” jawab Irfan.
“Jangan besok! Bagaimana kalau sekarang saja kita tonton
sama-sama. Film itu menceritakan perjuangan TNI dalam melakukan serangan Umum 1
Maret. Setiap kali menonton film itu, Kakek kembali terkenang masa-masa
perjuangan dulu, saat Kakek ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan,” kata
Kakek Umar dengan berapi-api.
“Iya Kek, tapi saya panggil teman-teman saya dulu ya Kek.
Tadi itu saya sedang bermain dengan tema-teman saya saat jatuh dari pohon,”
jawab Irfan.
“Kenapa tak kau bilang dari tadi? Teman-temanmu pasti
cemas menunggumu. Sana, Kau panggil teman-temanmu!” perintah Kakek Umar.
Irfan kemudian keluar dan mengajak teman-temannya untuk
bertemu dengan Kakek Umar. Awalnya mereka ketakutan. Tapi setelah Irfan
menjelaskan keadaan yang sebenarnya, Doni, Eman dan Rizal mengerti, ternyata
kecurigaan mereka selama ini salah.
“Jadi selama ini kecurigaan kami salah ya Fan? tanya Eman
setelah mendengar penjelasan Irfan.
“Pantas saja Kita sering mendengar suara tembakan, lha
wong suara film perjuangan,” Kata Doni sambil menepuk jidatnya sendiri.
“Wah Kita bersalah pada Kakek Umar nih teman-teman,” sahut
Rizal.
“Iya teman-teman. Kita bersalah, sudah mencurigai seorang
pejuang seperti Kakek Umar. Tapi aku punya cara untuk meneus kesalahan Kita
pada kakek Umar,” kata Irfan.
“Bagaimana fan” tanya Doni.
“Mulai sekarang Kita sering-sering main ke rumah Kakek
Umar, sepertinya beliau agak kesepian karena tinggal sendirian sejak pindah ke
kampung ini. Pasti beliau senang kalau Kita temani. Kita juga bisa banyak
belajar dari beliau tentang sejarah bangsa Kita,”
“Setuju!” sahut Doni, Eman, dan Rizal
hampir bersamaan.
Cerita di atas adalah salah satu cerpen dalam buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama.
Judul: Terjebak di sarang penjahat, kumpulan cerpen anak
Penerbit: Penerbit Haekal Inti Pustaka
Pengarang: penulis, Asih Pujiariani ; editor, Nur Hadi ; penyunting, Siti Rofiatun
Tahun: 2018
Received: -
Seri: -
ISBN: 978-602-61676-4-4
0 Comments:
Post a Comment