Tina tak henti-hentinya
memandangi sepeda barunya. Warnanya biru muda, dengan keranjang yang cantik di
depan setang. Di ujung setang ada pita kecil berwarna putih, biru, dan merah
yang selalu melambai-lambai saat sepedanya bergerak. Di bagian belakang sepeda
Tina juga ada boncengannya. Kemudian, sebuah bel yang cantik menempel di bagian setang
membuat sepeda baru Tina nampak sempurna. Sepeda yang sempurna seperti impian
Tina sejak dulu.
“Kriiing, kriiing, kriiiing,”
Tina membunyikan bel sepedanya. Suaranya nyaring sekali.
Tina sangat bahagia. Senyum
mengembang di wajahnya. Sudah lama Tina ingin punya sepeda, dan akhirnya orang
tua Tina membelikan sepeda baru untuknya. Kebetulan hasil panen kopi tahun ini
cukup melimpah. Jadi orang tua Tina memiliki kelebihan rejeki untuk membeli
sepeda.
Tina mencoba menaiki sepeda
barunya. Ia bersepeda mengelilingi halaman dengan sepeda barunya. Beberapa kali
Tina membunyikan bel sepedanya kembali.
“Kriiing, kriiing, kriiiing,”
suara bel sepeda itu membuat Tina lebih bersemangat mengayuh sepedanya. Meskipun
belum pernah memiliki sepeda sendiri, sebelumnya Tina sudah belajar naik sepeda
dengan sepeda milik sepupunya, karena itu ia sudah mahir naik sepeda.
Saking asyiknya bermain dengan
sepeda barunya. Tina tidak menyadari Ririn temannya datang. Ririn adalah
tetangga Tina. Rumah Ririn hanya selisih dua rumah dari rumah Tina. Selain
bertetangga, Ririn dan Tina juga teman sekelas. Mereka berdua duduk sebangku.
Usia Tina dan Ririn hanya
selisih dua bulan, tapi tubuh Ririn jauh lebih tinggi dan lebih besar dari Tina.
Tubuh Ririn memang cukup bongsor. Bahkan tinggi Tina hanya sepundak Ririn.
Ririn juga anak yang paling tinggi dan paling gendut di kelasnya. Tapi meskipun cukup gendut, Ririn termasuk
anak yang lincah. Ia juga periang dan baik hati.
“Sepadamu baru ya Tin?” tanya
Ririn saat melihat Tina dengan sepeda barunya.
“Iya Rin. Bagus kan?” jawab Tina.
“Iya, bagus sekali. Mahal ya
Tin?” tanya Ririn.
“Tidak kok. Ini bukan sepeda
merek terkenal yang mahal,” Jawab Tina.
“Tapi bagus kok Tin. Aku juga
mau punya sepeda seperti ini. Aku pinjam ya Tin.”
“Tapi…,” Tina ragu untuk
meminjamkan sepeda barunya pada Ririn. Tina belum pernah melihat Ririn naik
sepeda. Tina khawatir kalau Ririn jatuh dari sepeda, dan membuat sepeda barunya
rusak.
Melihat Tina agak ragu-ragu,
Ririn mencoba meyakinkan Tina. “Aku sudah bisa naik sepda kok Tin,” kata Ririn.
“Tidak usah khawatir. Sepeda kamu, pasti aman,” ucap Ririn lagi.
“Benar Rin? Ya sudah, tapi
hati-hati ya!” pesan Tina kepada Ririn sahabatnya, sebelum memberikan sepedanya
untuk dipinjam.
“Iya. Aku pasti hati-hati kok,”
sekali lagi Ririn mencoba meyakinkan Tina.
Ririn ternyata memang sudah
pintar naik sepeda. Beberapa kali ia berputar di halaman rumah Tina yang luas
itu dengan lincahnya.
Setelah beberapa kali mengitari
halaman, Ririn berhenti di depan Tina “Ayo kubonceng Tin,” kata Ririn kepada
Tina.
“Oke. Siapa takut?” Tina
setuju dengan usul sahabatnya. Mereka berdua pun berboncengan naik sepeda,
tidak hanya di halaman rumah Tina, tapi juga disepanjang jalan kampung mereka.
Mereka bersepeda sambil
tertawa-tawa. Ririn senang, bisa ikut main sepeda. Sepeda baru lagi. Tina juga senang,
bisa berkeliling naik sepeda tanpa harus lelah mengayuh. Selain itu, Tina
merasa sangat senang, bisa membuat sahabatnya bahagia.
Saat Tina dan Ririn asyik
bersepeda, dari arah masjid terdengar suara adzan Asar. Selain mengingatkan
waktu sholat, suara adzan di kampung Tina juga jadi pengingat anak-anak di kampung
Tina untuk pergi mengaji. Biasanya TPQ dimulai setelah shalat Asar berjamaah di
masjid.
“Eh sudah adzan Tin, ayo kita
siap-siap pergi mengaji,” Kata Ririn kepada Tina.
“Iya. Ayo!” jawab Tina
“Tin, nanti kita pergi mengaji
pakai sepedamu ya! Kita boncengan lagi,” usul Ririn.
“Boleh… boleh…,” ternyata Tina
juga setuju dengan usul Ririn. Ririn dan Tina kemudian pulang ke rumah
masing-masing.
Selesai mandi dan menyiapkan
segala sesuatu yang digunakan saat belajar mengaji, Ririn menghampiri Tina di
rumahnya. Saat Ririn tiba di rumah Tina, Tina sudah siap dengan sepedanya di
depan rumah.
“Sudah siap Tin? Ayo
berangkat!” sapa Ririn saat bertemu Tina kembali.
“Ayo,” jawab Tina dengan penuh
semangat.
Di hari Sabtu yang cerah itu, Ririn
kembali memboncengkan Tina saat berangkat mengaji. Jarak rumah Ririn dan Tina
lumayan jauh dari masjid. Setidaknya dibutuhkan waktu dua puluh menit jika
berjalan kaki. Sebagian jalan yang mereka lewati cukup landai, namun sebagian
jalan yang lain agak menanjak.
Beberapa menit berlalu, tanpa
terasa Ririn dan Tina sudah hampir sampai masjid, tapi Ririn sudah merasa
kelelahan. Napasnya jadi tersengal-sengal saat melewati jalan yang menanjak. Ia
menghentikan laju sepedanya sebentar.
“Kamu capai ya Rin?” Tina
bertanya, saat melihat Ririn seperti kelelahan. “Kita gantian saja
Rin. Biar aku yang di depan,” usul Tina emudian.
“Kamu tahu saja Tin. Ya sudah,
kita gantian. Aku memang lelah sekali,” jawab Ririn.
Ririn dan Tina saling
bergantian. Tina yang mengayuh sepeda, sedangkan Ririn membonceng di belakang.
Tina mengayuh pedal sepeda
barunya sekuat tenaga. Jalan yang agak
menanjak, ditambah beban yang cukup berat dari badan Ririn yang
diboncengkannya, membuat apa yang Tina lakukan tidak mudah.
Baru lima kali mengayuh pedal
sepedanya, Tina kehilangan keseimbangan. Sepeda Tina dan dua penumpangnya
mundur ke belakang.
“Aaaaaaaa,” Tina dan Ririn
spontan berteriak. Karena panik, Tina bahkan tidak ingat untuk mengerem
sepedanya. Sepeda Tina terus mundur ke belakang, kemudian tergelincir ke sisi
jalan, dan ambruk. Tubuh Tina dan Ririn juga ikut terjerembab ke tanah bersama
sepeda yang mereka naiki. Untung saja mereka tidak sampai terperosok ke dalam
selokan.
Tina meringis merasakan perih
di tangan dan kakinya yang lecet-lecet. Ia kemudian melihat keadaan Ririn.
Keadaan Ririn ternyata juga tidak jauh berbeda. Ririn dan Tina saling pandang
kemudian kompak tertawa terbahak-bahak.
“Kamu tidak apa-apa Rin?”
tanya Tina setelah tawanya reda.
“Tidak apa-apa Tin. Cuma
lecet-lecet sedikit. Ayo bangun! Nanti keburu ada orang yang melihat kita. Bisa
malu kita,” ucap Ririn. Ririn khawatir ada orang yang lewat dan melihat mereka.
Ia takut mereka akan mentertawai Tina dan Ririn.
Tina dan Ririn segera bangun.
Mereka mengusap-usap baju dan badan mereka yang kotor karena debu jalan.
Secepat mungkin mereka memberdirikan sepeda Tina. Dan melanjutkan perjalanan ke
TPQ.
Dari pada jatuh lagi, Tina dan
Ririn memilih untuk menuntun sepedanya di tanjakan. Mereka berdua masih saja
tertawa-tawa hingga sampai ke masjid. Ririn dan Tina merasa geli dengan
kekonyolan mereka sendiri. Mereka juga merasa beruntung memiliki teman yang
baik, bisa saling berbagi dan saling membantu. Bahkan saat mengalami sesuatu
yang tidak menyenangkan, seperti saat terjatuh dari sepeda tadi, mereka tetap
bisa tertawa bahagia.
0 Comments:
Post a Comment